Minggu, 12 Januari 2014

Disainer Indonesia di gancah dunia

Pernah nonton film layar lebar 300, Hulk, atau Cat Woman? Atau, jika Anda penggemar film serial TV mungkin pernah menyaksikan Ugly Betty, The Triangle, atau Desperate Housewives yang ditayangkan Star World dan HBO? Jika Anda perhatikan, ternyata ada satu persamaan dari film-film top tersebut, yakni sang desainer grafis di balik film:Yolanda Santosa.
Yolanda memang salah satu talenta muda asal Indonesia yang sukses sebagai desainer di bidang branding & motion graphic di Amerika Serikat. Melalui bendera usahanya Ferroconcrete, Yolanda sukses mendesain sejumlah film box office. Kepiawaiannya mendesain film title, main title atau opening show, memberi kontribusi besar dalam mendongkrak publikasi sebuah film.
Poster Yolanda Santosa
Bahkan, melalui kontribusinya tersebut, sejumlah penghargaan diraihnya. Selama tiga tahun berturut-turut, namanya dinominasikan untuk meraih Emmy Award. Pada Emmy Nomination 2007, perempuan yang akrab disapa Yo ini masuk dalam kategori Main Title Design untuk serial TV favorit Ugly Betty. Sebelumnya, di kategori yang sama, pada 2006 ia pernah dinominasikan berkat karyanya di serial TV The Triangle yang diputar di The Sci Fi Channel dan pada 2005 lewat serial TV Desperate Housewives. Selain dinominasikan dalam Emmy Award, Yo telah menyabet penghargaan Graphic Design USA 2006 dan Webby Award Honoree 2006.
Sederet klien besar pernah ditangani Yo, antara lain: stasiun TV ABC, CNN Paramount Pictures, Pinkberry, Sci Fi Channel, Showtime, Sony, Universal Pictures, Walt Disney Pictures, Warner Bros Pictures, dan 20th Century Fox.
Menurut Yolanda, proyek pertama yang ia garap sebagai desainer grafis adalah main title design film Desperate Housewives. Ketika itu ia bekerja sebagai desainer dan Art Director di yU+co. Memang, setelah menyelesaikan kuliah di Art Center College of Design di Pasadena, AS, pada 2000, Yo langsung bergabung dengan studio motion graphic ini. Rumah produksi yang menggarap serial Desperate Housewives mengundangnya untuk mengikuti tender pembuatan main title film serial ini. Marc Cherry, kreator film tersebut menginginkan ada penggambaran yang komunikatif mengenai beberapa istri yang sedang patah hati, murung, tapi terkait dengan sejarah. “Tantangan bagi saya adalah bagaimana menyambungkan dan mengaitkan beragam aliran dan gaya visual sehingga menjadi sesuatu yang kohesif. Solusinya, dengan membuat gaya pop-up book,” ujar Yo mengenang. “Kami memenangi tender itu dengan mengalahkan lima perusahaan lainnya. Saat itulah saya merasa benar-benar menjadi local lead designer dan art director,” ia menceritakan dengan nada bangga.
Setelah itu, Yo memutuskan mengembangkan bendera usaha sendiri. Pada 2006 dibentuklah Ferroconcrete yang berbasis di Los Angeles. Kini, Ferroconcrete kian berkibar sebagai desainer branding & motion graphic di AS. Tentunya, rekening banknya makin dipenuhi dolar. Bagaimana tidak, untuk pengerjaan satu desain title film saja biaya proyeknya minimum US$ 250 ribu. Apa sih kiat suksesnya? “Saya hanya meyakini kemampuan diri sendiri, dan bisa menawarkan yang terbaik untuk klien,” ujarnya diplomatis.
Seniman grafis lain asal Indonesia yang sukses berkiprah di industri film Hollywood adalah Kalim Winata. Pria kelahiran Jakarta tahun 1965 ini sekarang adalah Computer-Generated Images Artist di ImageMovers Digital – salah satu anak perusahaan Disney. Tugas Kalim di perusahaan desain ini adalah memadupadankan pakaian, aksesori, serta jenis dan warna rambut karakter animasi.
Saat ini proyek yang dikerjakan Kalim adalah pembuatan film animasi Christmas Carol yang disadur dari novel Charles Dicken yang diterbitkan tahun 1843. Christmas Carol berkisah tentang seorang pria kesepian yang menemukan kasih sayang dan cinta dalam waktu satu malam. Film animasi yang rencananya tayang pada November 2009 ini dibintangi Jim Carey dan disutradari oleh pemenang award, Robert Zemeckis – yang pernah menyutradarai Beowulf, Polar Express, Castaway, What Lies Beneath, Forrest Gump, dan Back to the Future (I,II,III).
Dalam Christmas Carol, Kalim bertugas menyimulasi rambut untuk karakter utama dalam film itu, Scrooge, yang diperankan oleh Jim Carey. “Secara visual, pekerjaan ini sangat menantang karena latar belakang skenario mengambil tema pada abad ke-19 di London. Hal ini memengaruhi gaya berpakaian dan penampilan. Tentunya karakter-karakter tersebut harus otentik mencerminkan keadaan riil pada zaman itu,” ujar Master of Fine Arts (MFA) dari Academy of Art University, AS ini bersemangat.
Kalim memulai kariernya di bidang animasi ketika menjadi seorang Render Wrangler di Pacific Data Images (PDI) Dreamworks, perusahaan yang memproduksi film animasi Shrek 1-3.
Selain di PDI Dreamworks, ia pernah pula menjadi Asisten Manajer Program di Pacific Power, Portland, Sony Pictures. Ia direkut menjadi CGI Artist pada film animasi Polar Express yang diproduksi Sony Pictures, setelah ia merampungkan proyek film animasi Shrek 2. “Membuat film animasi memerlukan keahlian detail. Contohnya, untuk membuat satu scene saja, diperlukan 24 sampai 30 frame per detik. Sebab, animasi merupakan gambar bergerak,” ia memaparkan. “Nah, tugas seorang CGI Artist adalah ‘menghidupkan’ karakter dari ratusan gambar di atas kertas menjadi sebuah jalan cerita,” papar Kalim dari ujung telepon di San Francisco, AS.
Menurut Kalim, kiat untuk bisa menembus studio besar sebenarnya cukup sederhana dan mudah. Para desainer grafis cukup menampilkan demo riil (portofolio) karyanya di sejumlah website berisi iklan lowongan pekerjaan di industri animasi. Mereka yang melamar biasanya harus melampirkan demo riilnya. “Jika studio tersebut tertarik, mereka akan memanggil pelamar untuk wawancara,” ucapnya.
“Saya sangat menikmati profesi sebagai seorang CGI Artist, karena pekerjaan itu merupakan kolaborasi antara teknik desain konvensional dengan penggunaan teknologi modern. Sangat visual, dinamis tapi juga memakan banyak waktu. Saya menyukai art. Tidak ada hal lainnya yang kini menjadi tujuan hidup saya,” tutur Kalim, yang saat ini menjadi Co-Author Red Darmon dalam pembuatan buku Made in India terbitan Chronicle Books – sebelumnya, ia juga menjadi co-author untuk buku Made in China dan Made in Japan.
Desainer grafis Indonesia lainnya yang sukses di mancanegara adalah Melissa Sunjaya. Wanita kelahiran Jakarta 1974 ini pernah berkiprah di beberapa studio desain grafis terkemuka di Kalifornia, seperti CMg Design Inc., Ph.D, dan Siegel&Gale Los Angeles.
Di CMg Design Inc. Melissa menangani proyek desain dari beberapa klien, antara lain: Sanwa Bank California, Metropolitan Water District of Southern California, Decrane Aircraft Holding, Micro Therapeutics Inc., Kidspace Museum, Mercury General Insurance, dan Southern Pacific Bank. Tahun 1999, proyeknya untuk desain identitas korporat di CMg menerima penghargaan Strathmore Graphics Gallery Award for Design and Production Excellence. Proyek itu dipamerkan di The Strathmore Graphics Gallery di New York, dan juga diterbitkan oleh Majalah Communication Art dan How Design di AS.
Di agensi Ph.D, lulusan bidang art dari salah satu universitas di Switzerland dan juga bidang desain dari sebuah universitas di Kalifornia ini menangani berbagai proyek branding korporasi seperti Fox Twentieth Century, 29 Palms, Gean Gardner Photography dan Mark Hanauer Photography. Selain itu, Melissa menangani pula pengembangan logo beberapa perusahaan, seperti Hauser Inc., Innovare.Com, dan Jehle Batliner s.a.
Salah satu prestasi Melissa yang diacungi jempol Daniel Surya ketika di tahun 1999 ia dan Dominic Symons mendirikan BlueLounge design yang menerima proyek desain, pembuatan logo dan branding korporasi di AS. Kliennya antara lain: ID Connect (Liechtenstein), Zoe Design Associates (San Francisco/Singapura), dan Belle Marie Winery (AS). “Melissa adalah salah satu desainer yang berhasil mendapat kepercayaan menangani proyek-proyek besar di Amerika, dan itu tidak mudah,” ucap Daniel memuji.
Nama desainer asal Tanah Air yang sukses di negeri orang adalah Henricus Kusbiantoro. Pria kelahiran Bandung tahun 1973 inilah yang mendesain brand expression The Global Campaign dari Bono U2 untuk AIDS di Afrika, yang diluncurkan dalam World Economic Forum 2006, di Davos, Swiss.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar